Harus diakui pelopor oposisi di Indonesia adalah kalangan aktivis yang saat Orde Baru mendeklarasikan diri sebagai penentang seluruh kebijakkan Orde Baru, peran ini berbeda dengan petisi 50 yang area kritiknya soal penerapan Pancasila dalam pemerintahan Orde Baru. Oposisi Indonesia secara langsung ingin segera dilakukan pergantian kepemimpinan nasional. Gerakan perlawanan terhadap Orde Baru tidak bersifat intitusional, hanya taktis namun mempunyai isu bersama sebagai titik temu.
Lahirnya Partai Rakyat Demokratik (PRD) lalu Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera) dan sebagainya, menjadikan oposisi lebih mempunyai program politik strategis dimana salah satu agenda politiknya adalah demokratisasi.
Lahirnya demokrasi tidak serta merta oposisi Indonesia menjadi terinstitusionalisasi, bisa dipahami dalam konteks budaya politik Indonesia tidak mengenal istilah oposisi Indonesia (lazimnya digunakan dalam sistem perlementer) namun di kenal kekuatan penyeimbang.
Kekuatan oposisi saat orde baru merupakan kekuatan perlawanan yg di lakukan aktivis yg mempunyai agenda dan strategis untuk menghadirkan demokrasi sebab sistim politik kala itu memberangus kebebasan dan di dominasi oleh kekuatan sentralistik. Kehadiran oposisi sebagai bentuk perlawanan saat itu menjadi efektif sebab ikut membangkrutkan kekuatan politik orde baru.
Oposisi di era demokrasi kemudian menjelma menjadi kekuatan penyeimbang , kritis namun sarat kepentingan politik apalagi yang dilakukan partai politik. Kekuatan oposisi yang kemudian kala itu populer disebut parlemen jalanan yang isunya tidak jauh menjadi kepanjangan tangan partai politik sehingga sulit membedakan isu elitis dan isu di jalanan. Lebih ironis kemudian di era lahirnya post-truth, peran oposisi di mainkan oleh individu – individu fungsional partai politik seperti Fadli Zon, Fachri Hamzah yang tidak bisa melepaskan diri dari keberadaan partai politiknya di luar kekuasaan. Selain itu, beberapa nuansa oposisi diperankan oleh aktor-aktor politik yang terilhami bukan sebagai bagian dari agenda dan strategik politik namun oleh motif sakit hati, korban hoax dan mereka yang menjalankan skenario politik identitas.
Efek dari itu kualitas oposisi sebagai konten narasi menurun drastis disebabkan wilayah perdebatan, area diskusi serta narasi yang dibangun lebih pada prasangka, bahkan anti demokrasi, merendahkan orang, tidak luput dari fitnah. Rasa frustrasi yang memungkinkan terjadi dengan membajak demokrasi dengan isu-isu People Power, memanfaatkan momentum untuk tindakan destruktif dan penunggangan bisa dilihat dari gerakan anarkho – sindikalis.
Oposisi sebagai gerakkan tidak lagi bisa independen seperti saat era orde baru disebabkan aktor-aktornya terafiliasi oleh kekuatan partai, kekuatan dinasti politik lama, serta kebencian sebagai produk utama dari politik identitas sehingga isu-isunya seputar masalah, anak PKI, pengunaan ayat agama, soal-soal ras sampai kehadiran TKA.
Kehadiran aktivis demokrasi seharusnya bisa memperkuat kualitas oposisi menjadi kekuatan narasi yang menjalankan fungsi korektif-konstitusional agar pemerintahan sukses mengemban amanah 5 tahun yang secara tidak langsung ikut menjaga demokrasi itu sendiri.
Faisal Basri, sosok ekonom sekaligus aktivis yang mengambil peran kontruktif. Selain beliau masih banyak juga yang mengambil peran mulia namun gaung narasinya belum cukup kuat menjadi narasi utama yang bisa mengeser narasi politik identitas.
Narasi yang menghegemoni harus terus di counter oleh narasi konstruktif-konstitusional agar tidak berkembang narasi politik identitas menjadi preseden, meluas dan diterima menjadi kebenaran yang harus diperjuangkan, jika ini yang terjadi maka terjadi pergeseran nilai, budaya dan yang tragisnya bergeser dari kesantunan politik menjadi gerakkan destruktif yang penuh caci maki serta kebencian.
Sekalipun budaya politik formil tidak mengenal istilah oposisi namun realitas kehadiran oposisi di luar struktur politik formil telah menjadi realitas dan mempunyai kekuatannya sendiri dalam kancah politik indonesia. Namun jika peran oposisi ini jika diperankan oleh berbagai macam aktor ini akan menjadi terhormat jika agenda dan strategis membangun ide-ide konstruktif sehingga pemerintah bisa menerima ide konstruktif dan pada akhirnya penerima benefit dari semua itu adalah rakyat itu sendiri. Peran ini pernah dilakukan terkait isu-isu soal KPK. Peran oposisi kontruktif-konstitusional akan sangat terhormat jika seluruh energinya dibangun untuk memperkuat demokrasi dan menjaga bahkan mendorong semakin berkualitas sistem kita bukan sebaliknya.
Dengan mengkritisi kebijakkan pemerintah tanpa tendensi serta penghinaan kepala negara sejatinya menghormati akal sehat rakyat Indonesia yang ambil bagian dalam mekanisme demokrasi terhadap pemilihan secara langsung. Karena itulah narasi yg teramat penting adalah menjaga kedaulatan rakyat itu sendiri disitulah marwah menjadi oposisi seperti yang di lakukan oleh para aktivis saat era Orde Baru.