Sudah P21, Penuntutan Kasus Korupsi Petinggi Partai Demokrat Mendadak Dihentikan

Jakarta, chronosdaily.com – Koordinator Jaksa Watch Indonesia (JWI) Haris Budiman mengkritisi kinerja penanganan perkara korupsi di Kejaksaan. Menurutnya, masih terjadi pemutarbalikan proses pengusutan. Bahkan, dengan mencari-cari dalil yang niatnya untuk menghentikan pengusutan perkara.

“Ini sangat berbahaya bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Mestinya ditindaktegas jaksa yang bermain-main dalam pengusutan perkara korupsi di Kejaksaan. Mengapa tak juga melihat betapa Kejaksaan saat ini sedang babak belur? Wajah kejaksaan tercoreng-moreng dengan terungkapnya sejumlah sepak terjang oknum jaksa yang menyelewengkan jabatan dan kekuasaannya,” tutur Haris Budiman, ketika dihubungi, Senin (12/10/2020).

Menurutnya, kinerja Kejaksaan diukur juga dari bagaimana penuntasan dan penanganan perkara, khususnya perkara korupsi. Tidak cukup hanya dengan membangun opini-opini yang seolah-olah mencitrakan kejaksaan sudah bagus. “Ukurannya kan berbasis kinerja. Seberapa banyak kasus atau perkara korupsi yang tuntas diusut dan diadili. Kalau malah menghentikan pengusutan, itu sama saja sedang menyelewengkan kewenanganya,” bebernya.

Seperti kasus korupsi yang terjadi di Sumatera Barat, lanjut Haris, hal itu menjadi perhatian publik juga. Kejaksaan kok bisa-bisanya menghentikan penyidikan kasus korupsi. Padahal, sudah ditetapkan P21 dan sudah selesai dari proses Praperadilan. “Ingat loh, Kejaksaan saat ini sedang babak belur karena jaksanya Pinangki terbongkar melakukan serangkaian tindakan curang dan pelanggaran, bahkan dugaan suap, dalam kasusnya buronan kakap Djoko Soegiarto Tjandra. Apakah masih bermain-main lagi Kejaksaan?” jelasnya.

Dia pun menegaskan, pengusutan kasus yang membelit Politisi Partai Demokrat itu harus dilanjutkan, dan dituntaskan. “Ini menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan. Dan masyarakat pastinya tidak akan percaya dengan proses-proses penanganan perkara di kejaksaan. Jaksa Agung mesti memperhatikan ini, dan menindaktegas jaksa yang bermain-main dengan kasus,” tandas Haris Budiman.

Kejaksaan Agung masih mendalami lagi kasus dugaan korupsi oleh oknum Politisi Partai Demokrat (PD) Sumatera Barat.

Kasus penipuan oleh oknum kader yang juga pengurus DPP Partai Demokrat Rezka Oktoberia sebesar Rp 1,7 miliar yang ditangani Kacabjari Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat diminta untuk terus diusut tuntas. Jangan dihentikan.

Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum Kejaksaan Agung (Jampidum) Fadil Jumhana menyampaikan, kasus itu ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat (Kajati Sumbar), dan memang sudah masuk ke Kejaksaan Agung. “Ada saran dari pihak Kajati Sumatera Barat untuk melakukan Penghentian Penuntutan. Kita mau lihat seperti apa,” tutur Fadil Jumhana, kepada wartawan, Kamis (08/10/2020).

chronosdaily

Menurut mantan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik) Kejaksaan Agung ini, memang dalam regulasi dan aturan perundang-undangan, Jaksa diberikan kewenangan untuk melakukan penghentian penuntutan, dengan syarat-syarat yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang itu.

Meski begitu, Fadil Jumhana menyampaikan, pihaknya harus firm betul dalam mengambil langklah hukum yang akan dilakukan, untuk memastikan terselenggaranya penegakan hukum dan keadilan.

“Memang, Jaksa diberikan kewenangan melakukan penghentian penuntutan, sebagaimana dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020 tentang asas restorative justice atau keadilan restoratif. Dari Kejati Sumatera Barat memang mengusulkan agar dilakukan penghentian penuntutan terhadap kasus yang membelit RO,” jelasnya.

Dari koordinasi dan informasi yang masuk ke mejanya, Jampidum Fadil Jumhana menyebut, Kejati Sumatera Barat, menyebut dugaan kerugian sudah dikembalikan oleh RO. Kemudian, pihak Kajati Sumbar juga meminta agar penuntutannya dihentikan.

Meski begitu, Fadil mengatakan, pihaknya perlu juga merujuk lagi mengenai penerapan prinsip dominus litis (Jaksa penguasa perkara)dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Apakah prinsip tersebut telah diterapkan secara penuh dalam hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) dan bagaimana implikasinya bila prinsip tersebut belum diterapkan secara penuh.

See also  Alami Pemberangusan Serikat Pekerja, Buruh Laporkan Pimpinan Perusahaan ke Polda Metrojaya

Selain itu, pengkajian ini juga dimaksudkan untuk mencari upaya agar prinsip dominus litis dapat diterapkan secara penuh dalam sistem peradilan pidana Indonesia. “Hukum bekerja dalam dua wujud, yakni hukum sesuai hukum dan hukum sebagai lukisan hukum yang sesuai dengan Undang-Undang dan hukum itu sendiri. Kalau menurut Kajati, kasus ini sudah tidak layak diteruskan ke penuntutan. Tetapi itu tetap harus memastikan syarat-syarat dan bukti-bukti yang ada,” jelasnya.

Jika pun pilihan penghentian penuntutan yang dilakukan Jaksa, menurut Fadil Juhmana, pihak-pihak yang merasa tidak puas masih bisa melakukan langkah hukum, seperti mengajukan Praperadilan. “Silakan dilakukan praperadilan, jika ada yang kurang puas. Dan, Jaksa tetap terbuka untuk memastikan adanya pengkajian dan proses penyempurnaan hukum juga,” ujar Fadil Jumhana.

Kasus dugaan penipuan oleh oknum kader Partai Demokrat RO sebesar Rp1,7 miliar yang ditangani Kacabjari Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota dinilai tidak bisa dihentikan tuntutannya. Apalagi dasar pertimbangan penghentian tuntutan itu memakai asas restorasi justice, sebagaimana termuat dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020.

See also  Roger Melles : Pencitraan Buruk dan Citra Pemerintahan Ini Tercoreng di Internasional

Pengamat Hukum dari Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Suyanto Lonrang mengatakan, restorative justice itu mekanisme penyelesaian dalam kasus tindak pidana yang nilainya di bawah Rp 2.500.000 atau kasus pidana yang pelakunya masih anak anak di bawah umur. Jadi, tidak tepat jika diterapkan untuk kasus penipuan yang nilainya bisa dibilang fantastis mencapai miliaran rupiah,” ujar Suyanto Lonrang.

Suyanto menanggapi kabar dari kubu tersangka RO yang mengklaim, Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat menyetujui permohonan persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, Surat Keterangan Pemberhentian Penuntutan (SKPP) kepada RO itu bakal dikeluarkan. Soal sudah adanya kesepakatan damai antara pihak tersangka dan korban, Suyanto menegaskan untuk tindak pidana biasa hubungan hukumnya antara negara dengan pelaku kejahatan.

Jadi, menurutnya, tidak bisa serta merta melalui penyelesaian damai antara pelaku penipuan dengan si korban, kemudian perkara pidananya tak dilanjutkan. “Meskipun telah tercapai perdamaian oleh para pihak, proses hukum atas delik biasa yang sedang berlangsung tidak serta merta dapat dihentikan,” katanya.

Suyanto pun mengutif, PAF Lamintang dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia (hal. 217-218). Di situ, kata dia, memberi pengertian delik biasa sebagai tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan. Yang harus dilakukan penegak hukum sebagai representasi negara dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan adalah melengkapi bukti-bukti, dan melakukan penuntutan terhadap pelaku sampai pengadilan memutus bersalah atau tidak.

See also  Semangat Kartini-Kartini di Tengah Pandemi

Dia menambahkan, ketentuan mengenai tindak pidana penipuan diatur di dalam undang-undang dalam hal ini KUHP. Sekalipun Kejaksaan Agung menerbitkan peraturan kejaksaan, tidak bisa bertentangan dengan undang undang. “Secara hierarki KUHP lebih tinggi dari peraturan kejaksaan tersebut,” kata Advokat dari Peradi ini.

SebelumnyaDasril sepupu tersangka RO menyampaikan, pada tanggal 16 September 2020, Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat menyetujui permohonan persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, SKPP tersebut akan segera di terbitkan. Hal itu disiarkan Daril kepada wartawan pada Sabtu pagi (19/09/2020).

Wakil Kepala Kejati Sumbar sekaligus Pelaksana tugas Kajati Sumbar, Yusron menegaskan, kasus dugaan penipuan sebesar Rp1,7 miliar yang ditangani Kacabjari Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota, tidak memenuhi syarat untuk dihentikan penuntutannya. Dan penghentian penuntutan itu sudah diatur dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020. Kami telah mempelajari perkara tersebut dan berkoordinasi dengan Jampidum Kejagung, dari situ disimpulkan kasus ini tidak bisa dihentikan penuntutannya,” kata Yusron.

Yusron juga menegaskan, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif hanya diberikan untuk kerugian di bawah Rp2,5 juta, seperti masyarakat kecil yang mencuri singkong, kakao, atau sekeping kayu sehingga mereka tidak perlu dibawa ke persidangan. Yusron mengemukakandengan tidak terpenuhinya syarat penghentian penuntutan tersebut maka Kecabjari Suliki selanjutnya akan melanjutkan proses perkara dan melimpahkannya. [Jon]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *