Sarat Permainan Izin Tambang dan KPK Belum Usut Korupsi Tambang di Sultra

Kendari, chronosdaily.com – KPK didesak segera turun tangan mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam persoalan pengurusan izin pertambangan di daerah. Seperti di Wawoni Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara (Sultra). Dugaan terjadinya korupsi berupa gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang untuk memuluskan perusahaan tambang memperoleh izin bukan hal baru lagi di sana.

Hadirnya perusahaan tambang PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Konawe Kupulauan (Konkep) Sultra itu pun telah menyebabkan konflik sosial yang mendalam. Direktur Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Melky Nahar menyampaikan, seharusnya KPK segera turun tangan melakukan pengusutan dugaan korupsi pertambangan di wilayah itu. “Kami meminta KPK segera mengusut dugaan korupsi berupa penyalahgunaan kewenangan dan gratifikasi, terkait perizinan dan operasi pertambangan PT GKP itu,” ujar Melky Nahar, Rabu 28 Agustus 2019.

Selain KPK, sampai saat ini, Polri pun masih membiarkan begitu saja persoalan dan konflik yang terjadi di masyarakat setempat. Melky dkk menduga, Polri sudah masuk angin. Dan malah berpihak kepada perusahaan perusak lingkungan, dan sumber konflik di masyarakat itu. Yakni PT GKP sendiri. “Kami juga mendesak Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian segera mengusut dan mengevaluasi kebijakan Kapolda Sultra terkait pengamanan investasi PT GKP di wilayah Wawoni,” tegas Melky.

Seruan dan desakan atas konflik sosial di Sultra itu dilakukan bersama-sama oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Lembaga Bantuan Hukum Makassar (LBH Makassar) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang menjadi Kuasa Hukum warga, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sultra, Lembaga Bantuan Hukum Kendari (LBH Kendari) yang juga sebagai Kuasa Hukum Warga, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra, Komisariat Desa (Komdes) Sultra, Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia Sulawesi Tenggara (Puspaham Sultra), Front Rakyat Sultra Bela Wawonii (FWBW) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Labaa yang merupakan Warga Pemilik Lahan di Wanonii.

See also  Danrem 091/ASN dan Forkopimda Kota Samarinda Tinjau Banjir

Direktur LBH Makassar Edy Kurniawan, sebagai Kuasa Hukum Warga menambahkan, anggota Polda Sultra tidak berpihak kepada hukum dan warga masyarakat. Dia meminta, Kapolda Sultra segera melakukan penindakan tegas kepada anggota-anggotanya. Edy menegaskan, Kapolda Sultra diminta segera melakukan upaya penyelidikan-penyidikan atas dugaan penyerobotan lahan dan pengrusakan tanaman milik warga. “Yang diduga dilakukan oleh karyawan PT GKP selaku pelaku lapangan dan pimpinan maupun direktur operasional selaku otak peristiwa,” ujarnya.

Untuk mencegah meluasnya konflik, Edy juga meminta Kapolda Sultra segera menarik pasukannya dari lokasi. “Kami desak Kapolda Sultra untuk menindak tegas aparat kepolisian yang melakukan intimidasi terhadap warga di lapangan,” ujarnya. Senada dengan Edy, Anselmus Masiku dari  LBH Kendari yang juga sebagai Kuasa Hukum Warga mendesak Pemerintah Provinsi mencabut izin perusahaan. “Kami minta Gubernur Sultra untuk segera mencabut IUP PT GKP,” ujarnya.

Selain itu, warga juga meminta Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh PT GKP, Polda Sultra dan Gubernur Sultra. “Serta, meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk segera melakukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” cetusnya.

Ketegangan dan konflik sosial di Wawoni Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) kian memanas. Situasi ini dipicu oleh ulah PT Gema Kreasi Perdana (GKP), melalui sejumlah karyawannya yang mengaku diperintah oleh pimpinan dan direktur untuk melakukan perampasan lahan dan pengrusakan tanaman milik warga maupun petani, pada 22 Agustus 2019, tengah malam. Labaa, salah seorang warga pemilik lahan mengungkapkan, hingga kini situasi di lokasi belum kondusif. Sebab pihak perusahaan terus berupaya memaksa dan melakukan perampasan lahan.

Sedangkan Pemda Kabupaten Konkep, Gubernur Sulawesi Tenggara maupun Polda Sultra, tak kunjung mengambil tindakan untuk menghentikan aktivitas PT GKP. “Situasi ini juga berpotensi menimbulkan konflik sosial yang lebih besar dan meluas, melibatkan warga Wawoni selaku pemilik dan penguasa lahan melawan pihak PT GKP,” tutur Labaa.

See also  Niat Moeldoko Minta Bantuan Amerika Dipertanyakan, Istana Harus Jelaskan Kemampuannya Atasi Persoalan Papua

Hurlan dari Front Rakyat Sultra Bela Wawonii (FWBW) menjelaskan, peristiwa penerobosan lahan warga yang terjadi pada 22 Agustus 2019, tengah malam itu, bukan yang pertama. Sebelumnya, pada Selasa, 9 Juli 2019 dan Selasa, 16 Juli 2019 lalu, PT GKP juga melakukan penerobosan lahan warga.

Tindakan PT GKP ini adalah bentuk main hakim sendiri, sewenang-wenang, melawan hukum dan menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). “Mulai dari hak milik, hak atas lingkungan hidup yang sehat, hak atas pekerjaan termasuk mencari nafkah, hak untuk hidup tentram tanpa gangguan atau ancaman, dan hak kehidupan layak,” ujar Hurlan.

Kisran Mahati dari Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia Sulawesi Tenggara (Puspaham Sultra) juga menuturkan, pihak Pemda Konkep, Gubernur Sultra dan Polda Sultra turut melakukan pelanggaran HAM berupa pembiaran atau by omission, tindakan sewenang-wenang perusahaan yang merampas hak asasi warga tersebut. Padahal, kasus ini sedang dalam proses penyelidikan Polda Sultra atas laporan perusahaan terhadap tiga orang warga Wawoni, dengan sangkaan menghalangi kegiatan tambang sesuai Pasal 162 Jo Pasal 136 UU Minerba.

“Dalam hal ini, Polda Sultra tidak profesional. Harusnya bekerja cepat melakukan penyelidikan dan mencegah tindakan-tindakan yang dapat merugikan para pihak dan mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Justru melakukan pengawalan terhadap tindakan sewenang-wenang PT GKP,” jelas Kisran.

Yayan Reskiawan dari Komisariat Desa (Komdes) Sultra menerangkan, warga Wawoni memiliki bukti kuat atas pemilikan dan penguasaan lahan. Dan, PT GKP yang mengklaim lahan warga. Harusnya bertindak berdasarkan hukum dengan mengajukan gugatan hak terhadap warga. “Jika kiranya perusahaan merasa punya hak maka silahkan dibuktikan di pengadilan dan meminta hakim untuk melakukan eksekusi. Bukannya meminta pengawalan aparat untuk main hakim sendiri,” ujar Yayan.

Torop dari Konsorsium Pembaruan Agrari (KPA) Sultra menjelaskan, konflik agraria yang terjadi di Konkep adalah bukti bahwa pemerintah daerah maupun pusat belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat di Kabupaten Konkep dalam mengelola sumber-sumber agraria. Penyelesaian konflik agraria di Konkep selama ini dilakukan dengan pendekatan intimidatif dan diskriminatif dengan dalih melindungi investasi, bukan bekerja sebagiamana mestinya sebagai penegak hukum.

See also  Perhitungan Pemenuhan Anggaran IKN akan Tetap Sejalan dengan Konsolidasi Fiskal

Tidak kalah pentingnya, Kabupaten Konkep merupakan wilayah pelaksanaan redistribusi lahan di Sultra. Melalui pelepasan kawasan hutan dengan skema reforma agraria seluas 14 ribu hektar. Hal itu dilaksanakan oleh Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Sultra, yang dibentuk oleh Gubernur Sultra sejak Februari 2019. “Kegiatan redistribusi lahan di Kabupaten Konkep menjadi prioitas kerja dalam kerangka implementasi dari agenda besar reforma agraria Presiden Joko Widodo,” ujarnya.

Udin dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra menyampaikan, fakta lain, Pulau Wawoni yang merupakan pulau kecil dengan luas ±1500 km2, harus bebas dari aktivitas ekstraktif. Harus bebas dari pertambangan.

Sehingga, pertambangan itu kini malah melanggar Pasal 35 huruf i dan k UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “Yang pada pokoknya melarang penambangan pasir dan mineral pada wilayah yang secara teknis, ekologis, sosial dan budaya menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan serta merugikan masyarakat,” ujar Udin. [Jon]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *