Jakarta, chronosdaily.com – Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) masih hanya sebagai perpustakaan bagi KPK. Seharusnya, LHKPN sebagai pintu masuk untuk melakukan pemberantasan korupsi, khususnya untuk memperkuat fungsi pencegahan. Agar korupsi dapat diminimalisir lebih efektif. Ketua Umum Advokat Indonesia Maju (AIM) Sandi Ebenezer Situngkir menerangkan, berdasarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Penyelenggaran Negara Bersih KKN dan Peraturan KPK, peraturan memperbolehan KPK melakukan penelusuran asset Penyelenggara Negara lewat LHKPN.
“Tentu saja KPK berwenang melakukan klarifikasi kepada Penyelenggara Negara terkait harta kekayaannya. Akan tetapi kewenangan tersebut tidak dilakukan KPK, kecuali seseorang ditetapkan menjadi tersangka atau terjerat OTT KPK,” tutur Sandi Ebenezer Situngkir, di Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2019. Lebih lanjut, Ketua Umum Seknas Advokat Indonesia ini mengatakan, jika tak bisa dijadikan sebagai pintu masuk, sebaiknya KPK tak usah mengomentari keberadaan LHKPN. “Kalau hanya untuk perpustakaan saja, ya tak ada artinya KPK meributkan LHKPN. Ya sayang sekali kalau hanya didiamkan begitu saja di KPK,” ujarnya.
Memang selama ini, lanjut Sandi Ebenezer Situngkir, keterbukaan dan telaah KPK terhadap LHKPN tidak menjadi fokus KPK. Padahal, dengan mendalami LHKPN, fungsi KPK melaksanakan pencegahan tindak pidana korupsi dapat dilakukan. Terjadinya korupsi dapat diantisipasi sejak dini. Dia meminta Pimpinan KPK untuk fokus melakukan pencegahan. Sekaligus mengurangi anggaran penanganan perkara di KPK. Sebab, anggarannya tidak sebanding dengan penyelamatan uang negara.
Sebagai perbandingan, dijelaskan dia, pada tahun 2018, KPK melakukan penyelematan uang negara sebesar Rp 500 miliar. Angka itu jauh lebih kecil dibandingkan anggaran yang diserap KPK pada tahun yang sama, yakni Rp 744,7 miliar.
Sementara itu, tahun 2018 Polri menyelamatkan uang negara mencapai Rp 2,3 triliun. Di tahun yang sama, Kejaksaan menyelamatkan uang negara sebanyak Rp 326 miliar. “Sehingga apa yang terjadi di KPK, belumlah sesuai cita-cita berdirinya KPK. Tidak seperti yang diharapkan masyarakat,” jelasnya.
Terkait OTT KPK, lanjutnya, benar memiliki efek bagi pelaku korupsi. Tetapi OTT bukan segalanya dalam pemberantasan korupsi. Jadi, dalam proses seleksi Capim KPK, LHKPN bukanlah segalanya untuk menilai para calon layak. “Tapi track record dan komitmen yang bersangkutan setelah terpilih menjadi Pimpinan KPK, itu yang perlu dipastikan,” ujarnya.
Sebab, bisa saja seorang capim KPK tidak melaporkan LHKPN, tapi dalam kinerjanya bersih dan memiliki komitmen yang kuat memberantas korupsi. “Saya pernah melakukan judicial review Perppu KPK ke MK. Bersama elemen lain, menjaga KPK dan memasang tenda di Gedung KPK. Sebagai pihak yang mendukung kinerja KPK lebih baik, menurut kami, sekaranglah saatnya orang baru memimpin KPK,” ujar Sandi Ebenezer Situngkir. [Jon]