Pater Bernardus Bofitwos Baru: Jangan Asal Menuduh Orang Papua Sesuka Hati, OPM Bukan Teroris 

Sorong, chronosdaily.com – Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) bukanlah teroris. Hal itu ditegaskan Direktur Sekretariat KeadilanPerdamaiandan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Ordo Santo Augustinus (OSA), Sorong-Papua Barat, Pater Bernardus Bofitwos Baru, OSA meresponi adanya labelisasi teroris kepada sebagian orang Papua, terutama kepada kelompok yang disebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua. 

Menurut Pater Bernardus Bofitwos Baru, agar tidak terjebak pada labelisasi terorisme yang disematkan oleh Pemerintah Pusat dan aparaturnyaada baiknya mengulas pengertian dan kedudukan terorisme itu sendiri. Bernardus Bofitwos Baru mengatakan, berbagai media masa nasional dan lokal, baik cetak, online maupun TV dan radio, santer memberitakan upaya Negara melalui Badan Intelijen Negara (BIN) memasukkan KKB dan TPN-OPM sebagai organisasi teroris. “Tujuan utama kampanye media ini adalah upaya mendiskreditkan dan menuduh sejumlah kelompok perjuangan kemerdekaan Papua, khususnya TPNPB-OPM sebagai teroris,” ujar Pater Bernardus Bofitwos Baru dalam penjelasannya, yang diterima redaksi, Senin (03/05/2021). 

Selain upaya mendiskreditkan dan menuduh, lanjutnya, ada pula upaya melegitimasi operasi militer dan intelijen terhadap para pejuang kemerdekaan Papua yang ada saat ini, khususnya TPNPB-OPM. “Ada sejumlah pertanyaan hakiki tentang apa itu terorisme? Apa cara yang digunakan para teroris untuk meraih tujuannya? Apakah tepat kalau kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) disebut kelompok terorisme?” sebutnya. 

Bernardus menuturkan, terorisme adalah suatu tindakan kejahatan yang dilakukan di atas pesawat atau sering disebut dengan kejahatan terhadap kemanusiaan  melalui dunia penerbangan (Konvensi Tokyo, 1963). Atau kejahatan pembajakan pesawat udara (Konvensi Hague, 1970), atau juga didefinisikan sebagai kejahatan yang dilakukan terhadap penerbangan sipil (Konvensi Montreal, 1971). 

Terorisme juga berarti kejahatan yang dilakukan oleh kaum teroris, menggunakan bom atau senjata kimia. Maka terorisme adalah sebuah tindakan kejahatan yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang, yang mengancam atau berakibat negatif terhadap hak atas hidup (the right to life),  kebebasan (liberty), keamanan seseorang atau sekelompok orang (security of person or group), yang mempunyai implikasi luas bagi keamanan dan perdamaian global. 

Jadi, disimpulkan bahwa terdapat berbagai bentuk definisi terorisme, namun ada dua aspek mendasar yang melekat pada diri seseorang atau sekelompok orang yang melakukan  aksi teror, yaitu, pertama, cara bertindak dengan menggunakan cara-cara kekerasan (violence) untuk mencapai tujuannya, dan kedua,  kelompok sasarannya adalah semua lapisan masyarakat, tanpa pembedaan. “Maka, pengertian terorisme merujuk kepada situasi atau kondisi tertentu yang menyebabkan kerugian, baik materiil maupun non materiil termasuk Hak Asasi Manusia (HAM) yang tak dapat dikurangi dalam waktu dan kondisi apa pun,” terangnya. 

Lebih lanjutefek domino kejahatan ini juga akan memberikan ancaman pada stabilitas dan keamananbaik nasional maupun internasional. Dalam upaya mempertahankan eksistensinyamenurut Bernardus, para teroris lazimnya menggunakan cara-cara  kekerasan (violence methodsuntuk mencapai tujuannya. Kelompok teroris tidak biasa menggunakan cara lainapa lagi cara-cara damai (peaceful actionuntuk meraih tujuannya. 

Mereka lebih cenderung menggunakan cara-cara kekerasankejahatan untuk mencapai tujuannya. Cara-cara kekerasan ini diarahkan kepada kelompok sipil atau rakyat banyak, yang tidak bersalah. Bernardus melanjutkanberdasarkan definisi dan pengertian terorisme itudapat dikatakan bahwa berbagai Kelompok Perjuangan Papua Merdeka, termasuk TPNPB-OPM pada hakikatnya, tidak dikategorikan sebagai kelompok terorisme. “Mengapa? Ada empat faktor yang mengindikasikan, bahwa TPNPB-OPM tidak dikategorikan ke dalam kelompok terorisme,” imbuhnya. 

Keempat faktor tersebut adalah, satu, faktor orientasi politik. TPNPB-OPM adalah sebuah organisasi politik yang memperjuangkan kemerdekaan Papua, lepas dari NKRI. Karena itu, kelompok ini, tidak menggunakan cara-cara kekerasan yang diarahkan kepada masyarakat sipil demi mencapai tujuannya. “Kalau pun ada, hal itu adalah rekayasa pihak militer sendiri untuk mendiskreditkan TPNPB-OPM,” katanya. 

Misalnya, lanjut Bernardus, peristiwa rekayasa pembunuhan di lokasi pertambangan Timika oleh Anthonius Wamang pada tanggal 31 Agustus 2002, rekayasa perang antara suku di Timika, beberapa tahun lalu di Arso, dibentuk kelompok TPNPB-OPM buatan yang dipelihara oleh militer. 

Demikian juga penembakan di Nduga pada tanggal 02 Desember 2018. Peristiwa di Nduga ini masih menyimpan sejumlah misteri di balik motif penembakan 31 pekerja jalan trans Papua tersebut. “Kejadian ini sangat ironis dengan kenyataan sebenarnya, yang dialami oleh masyarakat di Papua selama ini,” katanya. 

Banyak orang-orang luar Papua (amberi) dari Maluku, Manado, Jawa, Toraja, Flores, Batak, dan yang lainnya, yang sudah puluhan tahun bekerja dan hidup di wilayah pedalaman Papua dengan aman, damai dan sejahtera. “Mereka tidak dilihat sebagai musuh oleh TPNPB-OPM, malahan mereka dijadikan kawan atau sobat mereka,” tuturnya.  

Bagi TPNPB-OPM, lanjutnya lagi, lawan mereka adalah pihak militer. Operasi militer Indonesia terhadap kelompok ini, selalu memakan korban jiwa dari masyarakat sipil. Karena TNI Polri menggunakan siasat operasi sapu bersih, tanpa membedakan mana TPNPB-OPM, mana masyarakat biasa. Oleh sebab itu, ratusan bahkan ribuan nyawa, baik bayi, anak-anak, perempuan maupun orang-orang tua melayang di moncong senjata militer Indonesia. Sejak diadakan Operasi Militer  pada tahun 1962  hingga saat ini, lanjut Bernardus, telah memakan ribuan nyawa orang Papua. 

Oleh karena itu, tersimpan di benak setiap orang Papua, sejumlah pengalaman sejarah memoria passionis atau ingatan penderitaan yang tak terlupakan, yang diwariskan turun-temurun kepada anak cucunya. 

Dua, faktor misi. Misi TPNPB-OPM adalah mengusung misi politik yaitu memperjuangkan pembebasan bagi bangsa West Papua dari penindasan, ketidakadilan, diskriminasi, penipuan dan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) secara sewenang-weang oleh Pemerintah Indonesia dan para investornya, yang selalu di-backing oleh kekuatan militer. Ribuan hektar hutan yang merupakan hak milik masyarakat adat, dieksploitasi secara illegal, maupun secara kolusi, nepotisme, sehingga menyebabkan deforestasi yang luas. 

Misalnya, lanjut Bernardus, kasus perusahaan Medco yang membabat habis 169.000 hektar hutan di Kecamatan Animha dan Kaptel di Kabupaten Merauke untuk kepentingan perkebunan pohon Akasia dan eucalyptus. Konsesi ini dikenal dengan projek raksasa, kerja sama Pemerintah dengan pihak pengusaha (investor), yang disebut Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). 

Demikian juga dengan pembabatan ribuan hektar hutan untuk proyek kelapa sawit di berbagai Kabupaten di seluruh daratan Papua. Misalnya, di Kabupaten Teluk Wandama  sebesar 8.937,39 hektar, di Kabupaten Fak-Fak seluas 25.286,00 hektarKabupaten Maybrat seluas 24.897,17 hektar, dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Tiga, faktor kedudukan. Kedudukan TPNPB-OPM adalah bentuk resistensi perlawanan orang Papua terhadap Pemerintah Indonesia, yang dari sejak semula merebut wilayah Papua secara sepihak, melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), yang cacat hukum, dan didukung dengan pressure kekuatan militernya. 

Sebagaimana diketahui, sejak Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1945, Tanah Papua atau yang disebut oleh pemerintah kolonial Belanda Nederlands Nieuw Guniea, masih merupakan wilayah kekuasaan Pemerintah Belanda. 

Atas situasi politik dunia saat itu, khususnya kebangkitan nasionalisme bangsa-bangsa Asia-Afrika, yang diawalinya dengan perang melawan para penjajah untuk mendirikan sebuah Negara yang merdeka, otonom dan berdaulat. Kesadaran atas  situasi politik  yang demikian mendorong Pemerintah Belanda memberikan peluang politik kepada rakyat Papua Barat melalui pemilihan Dewan Nieuw Guinea (Nieuw Guinea Raad), tepatnya pada bulan November 1960. Dewan Nieuw Guinea adalah sebuah badan perwakilan rakyat yang memiliki fungsi-fungsi legislatif minus hak budget atau anggaran. Pemilihan anggota dewan ini berlangsung pada tanggal 18-25. [Jon]

See also  Ini Pesan Natal Ketua Pemuda Katolik Komisariat Daerah DKI Jakarta

Related posts:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *