Jakarta, chronosdaily.com -Proses pembahasan omnibus law harus selaras dengan Konstitusi dan Perundang-undangan lainnya.Saran ini disampaikan Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI) menyikapi masih maraknya polemik seputar omnibus law.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (Sekjen ISRI), Cahyo Gani Saputro menyampaikan, dari sisi penerapan system hukum Indonesia, tidak serta merta mengadobsi semua model penyusunan perundang-undangan asing.
“Oleh karena itu, di dalam menyikapi metode Omnibus ini, perangkat pembentuk undang-undang juga harus dapat menyelaraskan antara metode kodifikasi dan metode Omnibus, menjadi suatu quasi yang juga selaras dengan Undang-Undang Pembentuk Peraturan Perundang-undangan,”ujar Cahyo Gani Saputro, Selasa (21/01/2020).
Dijelaskannya, Prolegnas 2020 telah disepakati oleh Menkumham, Baleg DPR dan Panitia Perancang UU DPD RI, pada tanggal 16 Januari 2016. Kesepakatan itu memuat 4 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan dibahas dengan metode Omnibus Law. Yakni, RUU Kefarmasian, RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Ibukota Negara.
“”Daftar Prolegnas ini tentunya akan ditetapkan dalam paripurna DPR menjadi Prolegnas 2020,”jelasnya.
Keramaian terkait Omnibus Law, lanjutnya, mesti direspon secara positif. Cahyo Gani Saputro memberikan catatan penting mengenai metode atau cara pembahasan dan perancangan Undang-Undang dengan Omnibus Law, yang harus tetap memperhatikan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan (PPP).
Dia mengatakan, pada tingkat global, kontrak bisnis dan sejenisnya bertumpu pada arbitrase yang menggunakan pendekatan sebagaimana sistem yang berjalan di negara penganut common law.
“Sedangkan secara historis dan perjalanan sistem hukum kita, lebih cenderung ke civil law. Dalam civil law juga dikenal kodifikasi yang lebih sistematis dan terpadu,”katanya.
Memang, dia melanjutkan, sejak Amandemen UUD 1945, tradisi sistem hukum common law mencoba mempengaruhi sistem hukum ketatanegaraan Indonesia. Walau akhirnya, potret sekarang seperti bikameral tidak bisa menembus sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Karena kita penganut negara kesatuan atau unikameral. Namun perlu diketahui bersama, para pendiri negara ini tidak menggunakan civil law murni dalam ketatanegaraan dalam UUD 1945. Namun lebih condong quasi atau semi presidensiil sebagai tesis para pendiri bangsa,”tutur Cahyo.
Oleh karena itulah, dia menegaskan, menyikapi metode omnibus law yang saat ini ramai dipersiapkan, mesti diselaraskan antara metode kodifikasi dan metode omnibus, menjadi suatu quasi. Yang juga selaras dengan Undang-Undang Pembentuk Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu, Cahyo juga mengingatkan, dengan pola Omnibus Law, adanya penghapusan atau dinyatakan tidak berlakunya pasal dan ayat Undang-Undang terdampak masuk kategori perubahan UU atau legislatif review. Itu harus mendasarkan pada Undang-Undang Peraturan Pembentukan Perundangan-Undangan (UU PPP).
“Oleh karena itu, penting sinkronisasi antara metode omnibus, kodifikasi dan UU PPP itu,”ujar Cahyo.[Jon]