Yogyakarta, chronosdaily.com – Para kader Marhaen yang dikenal sebagai penganut ajaran marhaenisme Presiden I Republik Indonesia Bung Karno, mengakui bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia masih sangat tinggi. Padahal, sejak awal, Sang Proklamator Bung Karno sudah memiliki garis perjuangan untuk mengentaskan kemiskinan. Hal itu dijelaskan dalam Diskusi Kebangsaan yang digelar Dewan Pimpinan Provinsi Keluarga Besar Marhaen (DPP KBM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), di Sekretariat DPP KMB DIY, Jalan Nitipuran No 89, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, pada Minggu (01/09/20190).
Dalam diskusi Keluarga Besar Marhaen yang mengambil tema Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Dalam Rangka Mewujudkan SDM Unggul Untuk Indonesia Maju itu, Ketua Dewan Ideologi Dewan Pimpinan Nasional Keluarga Besar Marhaenisme (DPN KBM), Prof Dr Wuryadi menjelaskan, ajaran marhaenisme masih relevan sebagai asas perjuangan melawan kemiskinan. Mewujudkan Manusia Indonesia yang adil makmur.
Dia mengatakan, tingkat kemiskinan di Indonesia yang relatif masih tinggi saat ini, menjadi persoalan bangsa. Dan, hingga saat ini menjadi perhatian bersama berbagai elemen bangsa. “Perjuangan untuk mengentaskan kemiskinan, sejatinya sudah menjadi fokus Presiden Pertama RI Ir Soekarno. Bung Karno yang kemudian memunculkan ajaran marhaenisme,” tutur Wuryadi.
Prof Wuryadi mengungkapkan, dalam ajaran Bung Karno tersebut, dititikberatkan juga perlunya perjuangan pada kaum miskin Indonesia, yang disebut sebagai kaum Marhaen. “Dalam Si Marhaen atau marhaenisme ini, kemiskinan bukanlah takdir dari Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi karena proses-proses penindasan dan penghisapan dalam interaksi sosial, ekonomi, maupun politik dalam satu tatanan,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Wuryadi juga menjelaskan tentang Marhaenisme dari masa sebelum kemerdekaan, masa perjuangan kemerdekaan NKRI, dan masa sesudah kemerdekaan NKRI. Menurutnya, ajaran marhaenisme masih relevan untuk diterapkan dimasa sekarang. “Fenomena munculnya kaum marhaen atau kaum miskin, masih relevan untuk menggunakan marhaenisme sebagai alat perjuangan di masa kini,” tuturnya.
Sementara itu, pembicara lainnya, Yos Soetiyoso dalam makalahnya yang berjudul Menegakkan Tiang Pancang, menjelaskan tentang perlunya introspeksi atau mawas diri, refleksi dari bangsa ini. “Memang tidak mudah untuk mengakui secara jujur kesalahan dan kekurangan pada diri sendiri. Begitupun bagi suatu bangsa. Kemajuan demi kemajuan akan diperoleh ketika bangsa itu mampu melakukan introspeksi dan refleksi,” ungkap Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ini.
Menurutnya, istilah Bangsa Yang Cerdas, merupakan bangsa yang mampu mengelola pemerintahannya secara efisien. Serta mampu membangun kesadaran untuk menjadi produktif. “Apapun sistem politik dan ekonomi yang digunakan suatu bangsa, akan menjadi kuat dan Berjaya, jika negara atau pemerintahannya efisien. Serta rakyatnya produktif,” tandasnya.
Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (Waketum DPN ISRI) Dr Tarto Sentono, yang juga hadir menjadi panelis, mengupas refleksi Sistem Pendidikan Nasional. Ia menilai, carut marutnya sistem pendidikan karena semakin menjauh dari terwujudnya manusia Indonesia yang ber-Pancasila.
Tarto Sentono mengatakan, pendidikan yang diselenggarakan pemerintah selama ini belum mampu mewujudkan keadilan sosial. Dan belum mampu dan memajukan kesejahteraan umum. “Bahkan, pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dengan alasan kekhasannya, akhirnya tidak memasukkan Pancasila sebagai ajaran. Seharusnya itu masuk guna mendukung out put anak didik agar memiliki budi pekerti keindonesiaan,” jelasnya.
Ketua Dewan Pimpinan Provinsi Keluarga Besar Marhaen Daerah Istimewa Yogyakarta (DPP KBM DIY), Agus Subagyo mengatakan, diskusi yang diselenggarakan itu sebagai refleksi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 74. Sekaligus menjalin dialog antar generasi KBM. “Diskusi ini merupakan refleksi RI di tahun ke 74-nya. Sebagai sebuah dialog anyar generasi pada diskusi ini. Hampir separuhnya memang dikunjungi generasi muda dari berbagai elemen marhaenisme yaitu GSNI, GMNI, Pemuda Marhaenis, Pemuda Demokrat, ISRI, dan KBM Sendiri,” katanya usai diskusi.
Diskusi dihadiri sedikitnya 100 Kader KBM dari seluruh kabupaten dan kota di DIY. Diskusi dimoderatori Diasma Sandi Swandaru yang merupakan Ketua Bidang Ideologi dan Politik DPN ISRI. Terkait acara diskusi,Agus berharap, ke depan akan tetap terawat semangat untuk tetap melestarikan ajaran Bung Karno tentang Marhaenisme, serta Pancasila sebagai dasar negara. [Jon]