Jakarta, chronosdaily.com – Presiden Jokowi didesak segera mengumumkan penundaan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020 (Pilkada Serentak). Penundaan juga harus segera dilakukan oleh Penyelenggara Pilkada, mulai Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta perangkatnya hingga ke tingkat bawah.
Alasannya, saat ini Indonesia sedang digempur pandemi mematikan Virus Corona (Covid-19). Selain itu, pemaksaan Pilkada Serentak kali ini, diprediksi tidak akan sanggup mencapai demokrasi yang sesungguhnya. Malah, pemaksaan Pilkada Serentak hanya akan menjadi ajang penyelewengan, seperti Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) hingga tingkat bawah.
Hal itu ditegaskan Koordinator Forum Mahasiswa Hukum Peduli Demokrasi Rakyat, Rudi Hartono Situmorang, di Jakarta, Senin (21/09/2020). Dijelaskan dia, hampir tak ada alasan yang logis lagi untuk memaksakan pelaksanaan Pilkada Serentak kali ini. “Di saat masyarakat Indonesia sedang menghadapi peningkatan dan penyebaran virus Corona yang mematikan, yang saat ini sedang melejit, hendaknya Presiden Jokowi dan para penyelenggara Pilkada bersikap bijak, untuk tidak memaksakan pelaksanaan Pilkada,” tutur Rudi Hartono Situmorang kepada wartawan.
Bahkan, lanjut aktivis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Jakarta (GMKI Jakarta) ini, semua pihak mengeluhkan beban berat perekonomian di masa pademi Covid-19. Negara, lanjutnya, sedang mengalami defisit keuangan yang luar biasa. Hampir semua roda perekonomian di setiap sektor mengalami stagnasi. Hal ini menyebabkan Indonesia terjun bebas pada situasi resesi ekonomi. “Maka, sangat tidak masuk akal, jika Pemerintah dan KPU tetap memaksakan Pilkada dilakukan tahun ini,” cetus mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (Unkris) ini.
Rudi Hartono Situmorang juga menegaskan, dalam beberapa kali pembahasan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, semua pihak sudah menekankan harus adanya ketegasan dan pelaksanaan Protokol Kesehatan (Prokes) yang ketat. Agar masyarakat tidak tertular pandemi Covid-19.
Nyatanya, hingga 3 bulan pelaksanaan Pilkada yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020, hal itu tidak pernah terjadi di tataran masyarakat.
Rudi Hartono juga mengingatkan, jika Pilkada Serentak 2020 ini tetap dipaksakan, yakinlah tidak akan pernah ada demokrasi substansial yang terjadi. Sebab, hampir semua pelaksanaannya sudah terhambat oleh kondisi buruk yang sedang dihadapi Bangsa Indonesia. “Jika dipaksakan, pilkada kali ini tidak akan mampu melahirkan pemimpin atau Kepala Daerah yang loyal kepada masyarakat. Tidak akan melahirkan Kepala Daerah yang demokratis, yang menegakkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Jangan harap itu akan terjadi,” tuturnya.
Dengan melihat kondisi, maupun realitas masyarakat di sejumlah daerah, lanjut Rudi, potensi terjadinya perpecahan dan kerusuhan sosial sangat tinggi, jika Pilkada tetap dipaksakan. Belum lagi, praktik money politics yang pastinya sudah mulai terjadi di daerah-daerah. Masyarakat yang sedang kesulitan ekonomi, tentu akan mengalami pergesekan perebutan uang atau pun iming-iming hadiah dan lain sebagainya dalam proses pelaksanaan Pilkada.
Hal ini, semakin memperburuk pelaksanaan demokrasi di tingkat daerah yang sedang dilanda pandemi Covid-19. “Ini semua, sangat berpotensi menimbulkan gesekan dan konflik di masyarakat. Jika ini terjadi, bukan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 yang terjadi, tetapi pembunuhan demi pembunuhan atau hilangnya nyawa masyarakat yang akan menjadi keseharian nantinya. Mati karena virus corona, atau karena konflik atau kerusuhan. Ini yang harus diantisipasi Negara, sehingga perlu menunda Pilkada,” beber Rudi Hartono Situmorang.
Hal senada diutarakan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia Provinsi DKI Jakarta (DPD GAMKI DKI Jakarta) Jhon Roy P Siregar. Menurut Siregar, memang tidak logis memaksakan pelaksanaan Pilkada kali ini. “Sebab, hampir semua potensi pelaksanaan pilkada itu bermasalah dan bisa menimbulkan masalah berkepanjangan. Ketersediaan alat-alat kesehatan untuk masyarakat melaksanakan Pilkada saja tidak tersedia. Ini rakyat hanya akan jadi bulan-bulanan dan sasaran empuk klaster baru penyebaran Covid-19,” ujarnya.
Siregar menegaskan, saat ini saja, bukan hanya masyarakat biasa yang menjadi korban penyebaran Covid-19, tidak sedikit pejabat daerah, calon Kepala Daerah, bahkan Menteri yang positif Covid-19. “Sekelas Ketua KPU saja sudah positif Covid-19. Terus mau kita paksakan lagi Pilkada ini? Jika dipaksakan, sama saja membunuhi masyarakat di bawah. Segeralah tunda Pilkada ini,” jelas Jhon Roy P Siregar.
Sementara itu, pihak Istana Negara memastikan tidak akan menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 yang akan digelar 9 Desember 2020. Presiden Jokowi sendiri menegaskan hal itu dalam pernyataan sikapnya yang disampaikan Juru Bicara Kepresidenan, Fadjroel Rachman lewat siaran pers, Senin (21/9/2020).
Presiden Jokowi, lewat Fadjroel, menyatakan bahwa pemungutan suara pilkada di 270 daerah akan tetap dilaksanakan serentak pada 9 Desember 2020 mendatang. “Pilkada 2020 tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020, demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih,” kata Fadjroel dalam keterangan yang diterima wartawan.
Menurut mantan aktivis mahasiswa ITB ini, pelaksanaan tahapan pilkada harus diiringi dengan disiplin protokol kesehatan yang ketat. Penyelenggaraan Pilkada juga perlu disertai dengan penegakkan hukum dan sanksi tegas. “Agar tidak terjadi klaster baru Pilkada,” ujarnya.
Jokowi, kata Fadjroel, juga mengatakan bahwa pilkada tidak bisa ditunda hingga pandemi berakhir. Sebab, pemerintah tidak bisa memastikan kapan pandemi Covid selesai di Indonesia dan dunia. “Karena tidak satu negara tahu kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Karenanya, penyelenggaraan Pilkada harus dengan protokol kesehatan ketat agar aman dan tetap demokratis,” ucapnya.
Fadjroel melanjutkan, penyelenggaraan Pilkada di tengah Pandemi dapat dijalankan seperti di beberapa negara lain. Ada beberapa negara yang tetap menggelar pemilihan umum. Tentu diiringi dengan protokol yang ketat. “Pilkada di masa pandemi bukan mustahil. Negara-negara lain seperti Singapura, Jerman, Perancis, dan Korea Selatan juga menggelar Pemilihan Umum di masa pandemi. Tentu dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat,” ujarnya.
Kendati begitu, Fadjroel meminta masyarakat untuk tetap bergotong-royong mencegah potensi klaster baru penularan Covid-19 di setiap tahapan Pilkada. Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) No 6 Tahun 2020, pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 harus menerapkan protokol kesehatan tanpa mengenal warna zonasi wilayah. “Semua Kementerian dan Lembaga terkait, juga sudah mempersiapkan segala upaya untuk menghadapi Pilkada dengan kepatuhan pada protokol kesehatan dan penegakan hokum,” kata Fadjroel.
Terakhir, Fadjroel berharap Pilkada serentak dapat menjadi momentum baru bagi masyarakat untuk menemukan inovasi baru untuk meredam dan memutus rantai penyebaran Covid-19. “Sekaligus menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara demokrasi konstitusional serta menjaga keberlanjutan sistem pemerintahan demokratis sesuai dengan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945,” ujar Fadjroel.
Sebelumnya, desakan agar pilkada ditunda menguat lantaran pandemi virus corona belum berakhir. Terlebih, banyak pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan saat mendaftar ke KPU di daerah masing-masing pada 4-6 September lalu. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat ada lebih dari 300 bakal calon peserta pilkada yang membawa massa dan abai protokol corona saat mendaftar ke KPU. Termasuk putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang membawa arak-arakan pendukung saat mendaftar ke KPUD Kota Solo.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan PP Muhammadiyah lantas meminta pemerintah agar menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Organisasi masyarakat lainnya juga mengusulkan hal serupa. Usul penundaan tak lepas dari kekhawatiran akan bahaya virus corona. Apalagi kasus baru di Indonesia masih terus bertambah dengan angka ribuan setiap harinya. [Jon]